Kamis, 09 Februari 2012

rindu

           Orang bilang, patah hati hanya mungkin jika ada cinta. Tentu saja: bagaimana kita mungkin patah hati dengan seseorang kalau kita tidak mencintainya? Patahnya sesuatu selalu mensyaratkan adanya sesuatu yang patah. Tapi jika patah hati dimungkinkan karena cinta, lalu apa yang memungkinkan cinta? Ex nihilo? Tidak, cinta tidak bermula dari tiada. Cinta, ironisnya, bermula dari patah hati. Melalui karyanya Lioni menunjukkan pada kita bahwa cinta justru lahir dari patah hati. Karya-karyanya—lima puluh dua foto yang ia kirimkan tiap minggunya ke lelaki yang berkata tidak padanya—tak lain adalah karya cinta: cinta yang menjadi nyata, yang menjadi material. Cinta yang nyata ini justru dimungkinkan karena penolakan yang mematahkan hatinya. Karenanya, cinta hanya mungkin jika ada patah hati.

            Tapi apa artinya patah hati? Apa yang membuat sedih ketika perasaan kita dinegasi oleh orang yang mau kita cintai? Dari mana asal-usul kesedihan? Ini adalah pertanyaan yang muncul ketika kita masih kanak-kanak: mengapa orang bisa sedih? Setiap orang pasti, setidaknya sekali dalam masa kecilnya, pernah menanyakan itu. Sedih adalah soal apa yang terlepas, yang jatuh ke tanah. Sedih, karenanya, mirip dengan hujan. Sedih adalah ketika kita berdiri tegak di sini tetapi perasaan kita jatuh berserakan di lantai. Dan kita melihat perasaan yang terserak itu seperti mengamati semut-semut yang merayap ke liang tanah dan menghilang. Kita sesudahnya merasa begitu ringan, mengapung seperti awan yang tembus pandang. Kesedihan adalah seperti hari yang cerah. Cinta, bagaimanapun, adalah kesedihan.

            Hakikat sedih dari setiap cinta inilah yang kita temui dalam sepotong kata sederhana: rindu. Orang bilang, rindu adalah milik mereka yang saling mencintai, rindu adalah rasa dari sepasang orang yang saling merasakan satu sama lain. Tapi apa artinya rindu jika itu berarti proses timbal-balik? Seakan-akan rindu sama seperti proses pertukaran komoditas bernama perasaan. Rindu, sebagaimana cinta, selalu bersifat sepihak. Rindu tidak mensyaratkan konsensus di antara berbagai pihak. 

            Rindu adalah seperti perasaan Orfeus dalam legenda Yunani itu. Ketika Euridis, kekasihnya, mati dipatuk ular, kesedihan Orfeus membuat langit menangis dan memberikan kesempatan baginya untuk menjemput kekasihnya di dunia orang mati. Syarat dewa hanya satu: Orfeus mesti berjalan melintasi dunia orang mati sembari diikuti oleh Euridis tanpa boleh sekalipun menengok ke belakang, ke arah Euridis. Apa yang diperbuat Orfeus adalah rasa rindu itu sendiri. Di tengah perjalanannya ia menengok ke belakang untuk menatap wajah Euridis dan pada saat itu juga sang kekasih terurai ke udara kosong. Pada titik di mana ia berbalik dan menatap wajah Euridis itulah Orfeus tahu apa itu rindu. Dengan menatap Euridis, Orfeus membebaskan cinta dari beban kepemilikannya, memberikan pada cinta apa yang memang milik cinta itu sendiri, membebaskan cinta dari dirinya sendiri. Itulah rasa rindu. Itulah cinta dalam rupanya yang paling murni—cinta yang sepihak, rindu yang membuta. Atau, seperti kata penyair kuno Angelus Silesius: The rose is without why; she blooms because she blooms.


Martin Suryajaya
Mahasiswa S2 STF Driyarkara

…..dari inspirasi hingga konfirmasi…..

Mengenal Lioni melalui pertemuan diberbagai komunitas seni-budaya di Bandung, Kappaletta* – singing telegram yang dibentuknya bersama teman-teman dan perbincangan pertama dan kedua kali dengannya di Warung Pasta dan Dalem Wangi, saya mencoba menelusuri cara Lioni yang unik dalam berkomunikasi, menarik perhatian dan menyentuh perasaan.

‘ I miss you ‘ adalah teks yang tertuang dalam image pertama, yang dikirimkan Leoni pada sosok yang khusus baginya melalui email, setelah cintanya ditolak dan kebutuhan akan sarana untuk mengekspresikan ke’galauan’ rasa menemukan ruangnya.

Secara konsisten dan yakin ia kemudian bercengkrama 
dengan sosok yang menginspirasinya memasuki proses ini
dengan rasa, yang terstimulir kuat dan membuatnya berada pada fase ‘AHA’ * dan mencari ruang untuk penyaluran.
dengan proses kreatif, yang membantunya melalui tahapan acak  sistem tubuh dan dunia rasa hingga berstruktur, berbentuk dan menemukan makna.
dengan semua obyek, yang menemaninya melewati ruang dan waktu
dengan kamera, yang merekam moment of truth
dan dengan teman-teman yang ia temui diperjalanan proses, yang kemudian secara kreatif pula membantunya mengkonstruksi pameran.

Perjalanan visual Lioni tumbuh dari minggu ke minggu dalam rangkaian gambar yang saling berkaitan sebagai cerita maupun gambar lepas.  Menarik adalah ketika dalam beberapa minggu ia berkonsentrasi pada tragedi kecelakaan Rex yang berakibat kematian,  rasa duka teman-teman Rex pada upacara penguburan, makam Rex, serta ‘kebangkitan’, yang barangkali bukan hanya sebuah narasi visual, tapi seperti yang sering terjadi dalam proses kreatif, merupakan rangkaian upaya memerdekakan diri dari perasaan-perasaan yang mengungkung dan membiarkan kreatifitas dan imajinasi bebas menjadi penuntun.

Di penghujung pameran, ‘ Have you been receiving my mails’ mengakhiri rangkaian image yang ditampilkan, yang bagi saya bukan sekedar mempersoalkan apakah berita tersampaikan pada sosok yang menginspirasinya, akan tetapi merupakan suatu bentuk konfirmasi pada kita semua, mengenai lapisan kesadaran Lioni yang diungkap lewat gagasan, sensibilitas rasa, tanda, kedalaman makna yang ia komunikasikan dengan lugas, unik dan penuh keisengan.

Marintan Siraitvisual & performing artist,
Founder & facilitator of Jendela Ide and Project #


* Kappaletta adalah jasa telegram bernyanyi yang dibentuk oleh Lioni dan teman-temannya. Menyatakan perasaan kepada seseorang melalui lagu.
* AHA merupakan momen ditemukannya embrio gagasan dalam proses kreatif.


Entah disadarinya atau tidak, Lioni adalah Rex.

Lioni adalah pribadi yang senantiasa riuh dan menularkan kegembiraan pada orangorang di sekitarnya. Bahkan saat masalah tampak begitu kompleks, Lioni adalah teman yang berani dan selalu berusaha menolong, dalam hal apa pun.

Rex dalam fotofoto ini adalah perumpamaan diri Lioni. Senang bertualang, bepergian ke berbagai tempat, berfoto, mengapresiasi keindahan dan berbagi dengan temantemannya. Baik itu berbagi komedi mau pun tragedi.

Warnawarna dalam fotofoto Rex memperlihatkan suasana hati yang sendu dan cenderung sedih walau pun kisah Rex dalam foto tidak selalu miris. Ini seperti Lioni yang merasakan rindu dan patah hati walau pun berada di tengahtengah dunia sekitarnya.

Lioni tidak pernah menyembunyikan apa yang dia rasakan. Namun bukannya bersembunyi dan menutup diri, ia tetap menjadi bagian dari sekitarnya. Ibaratnya seperti warna primer dalam suatu gambar. Sesuatu yang tampak jelas. Bagi seseorang yang kreatif seperti Lioni, karya adalah hal yang bisa diharapkan datang darinya, khususnya di saat ia merasakan emosi yang lebih dari biasa. Ah, cinta. Sebesar atau kecil apa pun itu, selalu ada jejak dan cerita yang tertinggal darinya.

Sebagai bagian dari salah satu etnis yang dikenal keras, bagaimana pun galak atau liar tampaknya di luar, Lioni secara tidak sadar memunculkan sisi relijius dirinya lewat cara yang tidak biasa, bahkan mungkin tidak secara nyata. 

Pilihan Lioni (atau kebetulan) yang jatuh pada hari Rabu mengingatkan saya akan Rabu Abu, di mana biasanya umat Kristiani mempersiapkan Paskah. Tidak ada kebahagiaan tanpa kesedihan. Tidak ada keselamatan tanpa pengorbanan. Ilustrasi ini muncul dalam beberapa foto Rex. Ada kematian, suasana berkabung, dan kebangkitan.

Lucunya lagi, rex artinya raja dalam bahasa Latin. Ketika disalib, tulisan di atas kepala Yesus berbunyi INRI yang merupakan singkatan dari Iesus Nazarenvs, Rex Ivdaeorvm. 
Raja yang baik adalah raja yang rela berkorban untuk umatnya. 

Rex bertangan pendek. Tangan yang pendek mungkin tidak bisa banyak mengangkut barang berat. Namun tangan yang pendek bisa menjangkau hati dan pundak orang yang berada di sebelah dirinya.

Yang mengulurkan tangan biasanya adalah tangan kecil yang meminta pertolongan. Namun sepanjang saya mengenal Lioni, ia selalu mengulurkan tangan sebelum saya meminta bantuan.


Olivia Kristina
Penulis

Menerjemahkan Rasa - Irma Chantily

Awalnya, hanya Rabu untuk Alex

Satu tahun yang lalu, Lioni Beatrik jatuh cinta dan dibuat patah hati oleh seorang pemuda. Dalam adukan berbagai macam perasaan; sedih, bingung, penasaran, dan rindu, Lioni membuat satu foto dan mengirimkannya kepada sang pemuda lewat surat elektronik. Fotonya sederhana: Rex, tokoh terkenal dari film Toys Story, “berpose” dengan selembar post-it yang bertuliskan “I miss you” yang tertempel di dadanya.

Foto pertama itu ia kirimkan pada  hari Rabu—yang setelah ditelusuri ulang, merupakan hari yang sama ketika Lioni menyatakan cintanya. Ternyata memotret Rex dan mengirimkan foto itu bisa menanggulangi rindu. Sekejap, Lioni tersembuhkan dari rasa sedih. Maka memotret dan mengirimkan satu foto Rex tiap Rabu menjadi hal yang rutin ia lakukan—sampai Rabu ke 52.


Jejak Visual dan Sarana Terapi
Berekspresi menggunakan fotografi bukanlah barang baru. Kamera sudah jamak digunakan sebagian besar orang, dan fotografi pun telah menjalankan beragam fungsinya di masyarakat selama lebih dari dua abad. Begitu pula ketika fotografi digunakan sebagai medium ekspresi dan terapi. Sesungguhnya, pada tahun-tahun belakangan, banyak terapis yang telah menggunakan fotografi sebagai alat untuk memahami hubungan patologis dan untuk memfasilitasi proses mengekspresikan perasaan. Persentuhan dengan sisi kreatif dianggap dapat membuat seseorang berelasi erat dengan perasaan dan pemikiran yang berada di alam bawah sadar—dan ketika mempraktikkannya, ia dianggap dapat mencapai titik yang mendekati tingkat meditatif sehingga level stres pun dapat direduksi.

Begitu pula dengan praktik fotografi. Logikanya mungkin sesederhana ini: memikirkan foto seperti apa yang akan dikirimkan tiap pekan bisa membuat ia sebentar saja memikirkan hal lain selain perasaannya yang tak berbalas itu. Lioni memang masih memikirkan sang pemuda, hanya saja bukan dengan cara yang bisa semakin melukai perasaannya. Tiap hari, ada saja beberapa jam yang ia habiskan untuk merancang kelanjutan “cerita” Rex.

Rangkaian foto ini ditutup dengan foto yang menampakkan Rex—agak membelakangi kamera, dan di tubuhnya tertempel selembar post-it yang bertuliskan, “Have you been receiving my emails?”. Karena pada akhirnya, memang hanya pertanyaan itu yang ingin Lioni utarakan untuk memberi “akhir” pada tahun dan perasaan yang membuatnya berpikir banyak tentang konsep hubungan romantis dan perasaan yang mengikuti. Foto dengan pertanyaan polos khas Rex ini juga menjadi karya penutup yang jenaka dari seluruh rangkaian foto—dengan visual yang menyerupai foto yang pertama Lioni buat.


Di Balik Gambar
Oleh karena itu, perjalanan Rex yang kita jumpai, adalah juga perjalanan Lioni—baik secara fisik maupun mental yang memperlihatkan perkembangan dan perubahan rasanya terhadap seseorang. Melalui proyek fotografi ini, Lioni melakukan terapi kepada dirinya sendiri dalam menghadapi patah hati: ada pemikiran, diskusi dan “penyadaran” yang muncul selama ia menjalani proyek ini. Ada kalanya ia bersemangat memotret. Ada kalanya pula ia benci seluruh kegiatan ini. Ia merasa telah menteror si pemuda dengan kiriman foto setiap Rabu: menjadi pihak yang menyalahgunakan perasaan dan bertindak sangat egois. Kemudian seiring dengan perjalanannya, Lioni sadar bahwa memotret Rex bukan lagi demi menyapanya, tapi untuk mengobati rindu; bukan lagi untuk menjalin hubungan dengan sang pemuda, tapi telah menjadi upaya untuk melupakannya.

Prosesi jatuh cinta dan patah hati yang dialami dirinya—dan setiap orang lainnya, bisa dilihat sebagai cara berkenalan kembali dengan diri sendiri; menyadari bahwa kita masih merasa, mencari tahu apa yang memicu rasa-rasa tertentu dan mempelajari cara-cara yang paling masuk akal untuk berhadapan dengan rasa itu. Dan bagi Lioni, membuat rangkaian foto adalah solusi dalam menghadapi persoalan rasa-merasa tersebut.

Memamerkan seluruh rangkaian foto yang ia buat selama setahun kemudian juga menjadi salah satu fase yang harus dilalui Lioni dalam menggunakan fotografi sebagai medium ekspresi dan terapi—seperti membuat akhir pada keadaannya yang terkatung-katung, menjadikan pameran ini sebagai pameran tentang perasaan—yang tak akan bisa didefinisikan. Manusia tidak punya cukup kosakata untuk membuat orang lain turut memahami sesungguhnya apa yang kita rasakan. Semoga bahasa visual yang lebih mampu menerjemahkan prosesi jatuh cinta dan patah hati—menerjemahkan rasa. 

Irma Chantily 
Kurator Pameran

Persiapan pameran #52wednesdays di Teaspoon, Jakarta







Pameran #52wednesdays di Common Room Bandung






Jumat, 20 Januari 2012

surat (sudah tak) cinta #1

@ichacingcut
ichacingcut.blogspot.com


Dear you,
Iya kamu. Tak perlu pakai celingukan ke belakang. Memang kamu maksudku. Diam saja di situ. Kau akan kuberi tahu sesuatu. Dengarkan jika masih mau, jika tidak pun tak apa sebenarnya, toh akan kutulis semuanya, meski tidak sekaligus.  Dengan bantuan pak pos cinta, surat ini pada akhirnya akan tiba pada kamu,  yang kutitipkan sesuatu beberapa waktu lalu, meski kini sudah tidak berlaku : hatiku.

Jikapun tidak mau kau baca, biar saja. Lagipula aku kini mulai sedikit terbiasa tanpamu. Hahaa..bohong besar, yang barusan itu. Seperti lagu  Syahrini yang super cheesy hasil recycle lagu di masa lalu : aku tak biasa. Kalau boleh jujur, aku tak ingin terbiasa, meski harus.

Kamu tahu tidak, akhir-akhir ini alam sering mendukungku untuk diam dan merenung. Seperti filsuf karbitan  saja. Langit lebih suka menemaniku dengan mendung, angin lebih senang membelai kulitku pelan seolah mengelus-elus kasihan, meski sesekali ia menamparku keras. Keras sekali, seperti kerasnya tamparan kenyataan saat kita harus menyudahi semua ini pada akhirnya.

Dan sekarang, aku di salah satu sudut kota, mencoba merangkai sesuatu yang katanya dijuduli surat cinta?

Bah! picisan sekali kedengarannya. Sedangkal pikiranku yang masih membenci beberapa tempat dan sepanjang jalanan yang pernah kita coreti dengan kenangan yang entah kapan bisa hilang. Sebodoh hatiku yang terkadang masih bertanya : “Kenapa begini akhirnya?” lalu berujung pada rasa sesal yang belum sembuh juga. Iya, belum. Bukan tidak.

Entah, sudah berapa gulung tissue yang terbuang sia-sia dan menyebabkan pohon-pohon di luar sana ditebang lebih brutalnya. Jika karena itu pemanasan global semakin parah, berarti salah satu penyebabnya jelas gara-gara kamu! Oh, lihat, bahkan aku meracau  begitu jauh ketika menyalahkanmu. Menyalahkan segalanya karena kurasa memang tak ada yang salah dariku. Menghadirkan kamu dalam daftar pelaku dalam hidupku adalah satu dari sekian kesalahan yang aku buat, dan belum bisa kuperbaiki. Lihat saja ke arah hati ini. Masih sobek di sana-sini.

Begitulah.
Maka jika tujuanmu mengakhiri ini untuk menyakiti, selamat ya, kamu menjalankan misi dengan sempurna. Bahkan sialnya, wangi tubuhmu masih saja terekam di kepala.

Kau tahu, akan ada beberapa ‘surat (sudah tak) cinta’ berikutnya. Sampai aku bisa melepasmu. Sampai aku bisa benar-benar mengenyahkanmu dari ujung arteri hingga vena. Entah kapan.

Untuk Seorang Lelaki disana

Cheryl Blossoms



Ini untuk lelaki yang ingin sekali saya temui tapi sangat takut saya jumpai..

Lelaki ini  tanpa saya sadari dan tanpa saya ingini ternyata memberikan pengaruh yang besar dalam hidup saya.
Pernah beberapa kali tanpa sengaja kami berada dalam satu tempat yang sama dan sayangnya saya tak pernah menyadari kehadirannya. Sekalinya saya menyadari kehadirannya, saya pada melirik ke lelaki ini dan dengan cepat memalingkan muka lagi..ya saya sebegitu pengecutnya.

Beberapa bulan kemarin, ketika saya pikir saya sudah cukup tegar dan kuat untuk menemuinya, saya memutuskan untuk mencarinya. Dan di internet era seperti saat ini, sangatlah mudah mendapatkan nomor teleponnya. Akhirnya saya menelponnya, dan dia mengangkatnya. Sejenak saya terdiam begitu mendengar suaranya.

Dan seperti yang saya takutkan, dia tidak mengenali suara saya, apa boleh buat saya memang orang asing baginya. Saya berharap dia mengenali nama saya, tapi ternyata tidak. Entah memang sudah lupa atau memang saya tak pernah ada di memorinya.

Dengan sisa keberanian yang mulai terkikis, saya ajak dia untuk bertemu, sayangnya kami tak bisa bertemu, karena saya harus datang ke kantornya sebelum jam 5 sore sedang saya datang ke kota ini karena ada suatu hal lain yang perlu saya kerjakan selain mengurusi urusan hati yang meradang bertahun-tahun ini. Singkat kata kami tak bisa bertemu. Padahal saya ada dikota ini untuk 3 hari. 15 menit pun tak mau dia luangkan untuk bertemu dengan saya. Dan saya hanya bisa menyetujui ketidaksanggupannya menemui saya.

Saya masih ingin menemui lelaki ini.
Dihari kedua saya mencoba lagi dengan mengirimkan message lewat facebook untuk mengingatkan dia siapa saya dan memintanya untuk menemui saya, sekali saja, saya tak minta lebih. Saya hanya ingin dia menggenggam tangan saya.

Sesudah itu saya membuka foto-foto facebooknya. Saya lihat foto seorang anak lelaki sedang offroad bersamanya. Saya lihat foto istri, anak perempuannya dan anak lelakinya sedang umroh...

Dan saya terdiam.

Lalu saya buka lagi foto-foto keluarganya.
Saya kembali terdiam..

Kebahagiaan seperti itulah yang sering saya idam-idamkan. Perasaan iri dan terharu dan kagum dan marah dan bahagia berkecamuk. Seharusnya saya juga berhak mendapatkan kebahagiaan seperti itu.

Kemudian saya membuka foto-foto anaknya. Satu foto, dua foto... Dan akhirnya foto terakhir. Lalu saya ulangi lagi dari foto pertama. Entah kenapa, saya lakukan hal itu, sampai tanpa disadari saya tersenyum melihat anak-anaknya tersenyum.

Saya sadar, saya tidak mau merusak senyuman anak-anaknya.. Yang secara tidak langsung, mereka juga adik-adik saya. Mungkin pertemuan dengan lelaki itu tak perlu terjadi juga. Mungkin anak-anak ini tidak akan sekuat saya jika harus hidup tanpa lelaki ini. Mungkin hidup tanpa lelaki ini bisa menjadikan saya orang yang lebih baik.

Lalu saya berpikir, saya tidak perlu kebahagiaan seperti yang tercermin di foto keluarga itu, saya rasa saya cukup bahagia sekarang. :)

Rabu, 04 Januari 2012

Adakah Cinta di India?

Alfred P Ginting (@alfredpasifico)


Travel makes you part of global consciousness; when your heart, body and soul become one with the pulsating universe.

Ratusan manusia bergelimpangan di atas pasir pantai Marina, Chennai. Di bawah kelam langit Madras, sebagian dari mereka tidur tanpa sarung yang paling buruk sekalipun.

Ya, ini India, yang sering disebut “heaven on earth”. Negeri impian para pencari eksperimen spiritual. Mereka yang digiring oleh kegelisahannya menuju sebuah tanah yang menjanjikan ketenangan. Inner peace.

Negeri yang memakai jargon “Incredible India” untuk promosi pariwisatanya. Sementara mereka seperti tidak membutuhkan turis dengan membuat syarat visa yang sangat ketat bagi orang asing. Tarif hotelnya yang sangat mahal -dibandingkan New York sekalipun- membuat saya berkesimpulan memang negeri ini tidak mengharap pada kocek turis. Karena ada 1,3 miliar populasi mereka yang sebenarnya potensial menjadi penghuni hotel.

Orang terkaya di dunia saat ini, Tata berasal dari India. Mereka yang jauh di bawah titik nadir hidup layak juga ada di negeri ini, para pengemis yang agresif berseru: “One rupee, one rupee Sir!” 


Kontradiksi memang selalu memukau.

Terlebih kontradiksi yang terlontar dari mulut Karan Khumar, seorang teman di New Delhi, ketika kami tak sengaja berbincang tentang pernikahan. Aku tak percaya cinta, kata dia. "I don't mine if my wife short, fat and ugly," kata Karan yang tinggi dan putih seperti orang Punjabi umumnya.

Pernyataan yang mengguncang isi kepala saya. Karena terlontar dari anak muda di negeri dimana berdiri megah Taj Mahal, monumen cinta paling agung dari Shah Jahan untuk almarhum permaisurinya Mumtaz Mahal, yang membuat jutaan turis datang ke Agra. Karan bukan, anak muda India yang kolot. Dia kuliah di Melbourne, Australia.

Dan lima tahun di Melbourne tidak membuat dia anti pada tradisi arranged marriage. “Ketika kau tidak tahu siapa yang akan kau nikahi besok, di situ letak fun-nya,” kata dia.

"Marriage in India is not about love. It's about money," kata Karan.

Dan dia mencoba meyakinkan saya, kalau data masih menunjukkan 95 persen pernikahan di India berangkat dari perjodohan. “Banyak lelaki India, merantau ke Singapura atau Bangkok. Mereka hanya pulang tiga bulan sekali. Buat mereka, buat apa istri yang cantik, toh tidak dilihat setiap hari,” kata Karan.

Karan bukannya tak memuja gadis cantik. Toh setiap kami berpapasan dengan perempuan India menawan, dia seperti lelaki jujur pada umumnya. Tersenyum nakal, bersiul, berdecak kagum, sesekali meminta afirmasi, lalu saya mengacungkan jempol.

Karan mengingatkan saya, cinta dan perkawinan adalah dua hal yang berbeda. Lelaki muda seperti Karan tetap mengencani perempuan yang mereka sukai. Tetapi ketika pada saatnya, orang tua mereka menyodorkan calon wanita untuk dinikahi, mereka tunduk.

Mereka menarik batas tegas antara kemauan dan kebutuhan, antara wants dan needs. Apa yang kau mau tidak selamanya persis dengan apa yang kau butuhkan. Semua lelaki mau perempuan ideal, tapi masyarakat India lebih membutuhkan dinamika sosial yang terdongkrak secara ekonomi karena lembaga pernikahan.

Saya tidak berhenti terpukau, terlebih-lebih mengingat industri film negeri ini yang selalu mengumbar tema cinta. Cinta yang berliku-liku hingga butuh 3 jam bagi sebuah film membangun plotnya. Meski tidak mengikuti film India, saya kemudian sadar, drama di layar memang selalu berbeda dengan kenyataan.

Keterpukauan saya berhenti, ketika tiba di Taj Mahal. Menatap ke seberang sungai, dari sang monumen cinta, terlihat puing bangunan yang belum jadi. Itulah pondasi Black Taj Mahal, istana yang seharusnya berwarna hitam, namun pengerjaannya terhenti sampai pondasi karena Shah Jahan dipasung oleh putranya sendiri.

Bila Taj Mahal monumen cinta bagi sang istri, untuk siapa Shah membangun Black Taj Mahal? Untuk dirinya sendiri. Jadi adakah cinta di India? Mungkin, cinta untuk diri sendiri.

Your reason for living is your reason for leaving

http://jaketbiru.blogspot.com 

It’s been months. I confessed that I’m fine, slowly getting there. Getting to the zone where there is only me, and never you. And I thought I was doing it great. But out of the blue, I woke up to a disturbing dream. Of course, it was always about you, and never about me. The dream crept in between the morning haze and the weight of my eyelids. And the weight of you on my shoulders which I realized never had been lifted.

In the dream, it was early in the morning. The autumn sky was grey and the air was a bit chilly. But under the duvet, I can feel the warmth of your skin and the crispy sound of the bedsheet. I woke up next to you, in my blue halter neck t-shirt on and you were in your blue short. We were too sleepy to open our eyes, but I noticed that I was content. Was too happy that I woke up to someone so familiar, so close. You put on your glasses and I hug you loosely. I love you so much, my heart wants to explode. Then I kissed your cheek. I guess I stayed that way for a minute or two. I can still remember the softness of your face, the cold against my lips and my cheeks. And oh, the smell of skin, a scent of baby bath soap, I inhaled a little too much. You did not moved an inch and utterly quiet, as usual.

We made out, under the dim light of the dawn. Soft butterly kisses and tingles were everywhere. We responsed slowly and exhaled the air with sighs.  Suddenly, you shouted at me. Your voice was high in the air, ‘We should stop this, our deadline is very near. In August we have to submit our report.’ Then I watched you getting dress in speed and off to work. I was still in my blue halter neck t-shirt with my sleepy eyes. I sit sheepishly at our full size bed, tugging my cold feet under the blanket. I stare at the door and empty space where you tied the strings of your field boots and left off. What’s wrong with you?

In the day, this is not a dream, I managed to gather some concentration and worked on some job applications. Those blohdy long forms I have to fill in with flowery words.  Some questions make no sense but I need to rewrite the answers. Again and again.

Position: Project Officer. From: May 2009 – March 2010. Duty:  Supporting program manager in delivering goals, taking part in community participation, and assissting monitoring and evaluation manager in collecting data. Achievements: Successfully engaged in writing the first term of project proposal, taking lead in community participation, engaged community in the program and delivered the report in timely manner. Reasons for leaving:

What was your reason for leaving? I left the white box still in blank. Empty and hollow.  


love is..

@BennyKutu

Gw teringat pernah berjanji untuk membuat tulisan tentang cinta untuk blog ini, tapi karena beberapa hal tulisan itu ga kunjung gw kirim hingga pada suatu waktu, sang penggagas blog ini, Lioni, menagih gw, “Kutu, mana tulisan lo buat blog gw?”, begitu tagihnya. Well, inilah tulisan gw tentang cinta. Didalam tulisan ini mungkin lu ga akan menemukan kata-kata romantis, juga bukan berupa penggalan lirik-lirik lagu bertema cinta, apalagi puisi yang dihiasi banyak kiasan. Ini hanyalah pemikiran gw tentang cinta yang gw coba rangkum dalam beberapa kesempatan.

Sabtu, 17 Desember 2011, 22:22 WIB

*Cinta Untukku*

Wiiihhh, angka yang bagus, 22:22. Jaman masih sekolah dulu, ada permainan yang bilang kalo elu melihat empat angka kembar tandanya ada orang yang cinta sama elu, percaya?..gw sih engga dan menganggap itu buat seru-seruan aja..hhhehe..

Anyway, ngomongin cinta, hal yang pertama gw lakukan adalah bertanya dalam diri gw sendiri, “Apa arti Cinta?”.  Hal yang terlintas dikepala gw saat ini adalah cinta itu adalah timbangan dengan satu wadah berisi tentang kebaikan, diwadah yang lain adalah keburukan.  Lalu, kalau ditanya tentang cinta sama gw sekarang, maka jawaban yang akan keluar dari mulut gw akan membuat wadah keburukan semakin berat dan timbangan menjadi berat sebelah, tanpa ada kesempatan bagi wadah kebaikan untuk membuat semua menjadi seimbang lagi.

Cinta itu penipu. Licik. Dengan lihainya dia akan ngasih elu sesuatu yang indah diawal-awal lalu disaat yang tak terduga dia akan menghancurkan elu. Gw pun pernah terhancurkan oleh cinta. Terus, cinta ga bisa lagi semurni yang sering diceritakan orang-orang. Cinta sejati hanya ada dikomik dan film Hollywood.

Sabtu, 17 Desember 2011, 22:55 WIB

*I Played my part*

Dia satu-satunya orang yang bisa membuat gw merasakan apa arti cinta sesungguhnya. Bersama dia gw bisa mencurahkan segalanya. Bersama dia gw tetep bisa menjadi diri gw sendiri dan dia menerima gw apa adanya. Bersama dia gw merasa nyaman. Tapi untuk terus bersama dia itu tidak mungkin. Untuk terus bersama dia akan membuat banyak orang marah. Untuk terus bersama dia, banyak orang akan tidak rela. Akhirnya gw pun memutuskan untuk melakukan tindakan. Tindakan yang gw tahu caranya salah dan akhirnya menghancurkan hatinya. Tapi, gw yakin itu untuk kebaikan gw dan dia.

Sabtu, 17 Desember 2011, 23:05 WIB

*A.B.L*

This one is for you. Kenangan bersamamu akan terus ada, tapi sekarang kita tidak bisa lagi beriringan dijalan yang sama, karena memang pada dasarnya jalan kita berbeda dan tidak bisa disatukan sekuat apapun kita berusaha. Kata maaf mungkin takkan cukup, tapi hanya itu yang kupunya. Hanya itu yang bisa kuucapkan karena telah menghancurkan hatimu. Aku hanya berharap maaf itu akan kau beri dan berdoa agar kebahagiaan kembali merangkulmu. Semua akan indah pada waktunya, gw yakin itu. Jangan pernah berhenti mencinta. Teruslah bersinar, walau untuk lain hati.

Minggu, 18 Desember 2011, 13:53 WIB

*Jatuh Cinta*

Jatuh Cinta…masih mau lu jatuh cinta? Dari kata aja, jatuh cinta dah ngegambarin hal yang ga enak. “Jatuh”. Cuy, dimana-mana yang namanya jatuh itu pasti sakit. Entah itu saat elu sedang berjalan trus tiba-tiba kesandung atau saat elu sedang jaya-jayanya lalu tiba-tiba ada kejadian yang membuat elu ga punya apa-apa. “You are nothing” klo istilah orang Barat sana. Begitu juga jatuh cinta, pertama lu akan dibuat serba salah, makan ga enak, minum terasa hambar, selalu gelisah, mau begini salah, mau begitu salah. Terus, disaat elu udah merasa menemukan cinta, dia akan membuat elu jatuh kembali dengan kenyataan-kenyataan yang pahit dan secara perlahan membuat elu harus kehilangan orang yang elu cintai. Mau?

Minggu, 18 Desember 2011, 15:00 WIB

*Materi*

Jaman sekarang semua diukur melalu materi, bahkan cinta pun ga luput dari pengukuran itu. Mau contoh? Coba tanya diantara temen-temen elu berapa biaya yang dibutuhkan untuk menikahi orang yang dicintainya? Lalu, tanya lagi, apa yang diucapkan sang calon mertua saat temen elu meminta anaknya untuk menikah dengannya?. “Kamu mau nikahin anak saya? Emang kamu udah punya apa?”, mungkin itu jawaban yang bisa ditemui. Lalu, bukan mau memojokkan perempuan, tapi diantara kalian pasti ada yang berpikir, “Mmm,kalo gw nikah sama dia hidup gw gimana ya? Gw bisa idup ga ya sama dia? Gw bisa beli ini ga ya? gw bisa beli itu ga ya?”. Pasti ada diantara kalian yang sebenarnya dah cinta mati sama pasangan kalian, tapi ga berani tuk nerusin kejenjang pernikahan karena merasa materi pasangan kalian ga cukup.

 Kenapa sih itu harus dipikirin? Kenapa pertimbangannya ga hanya cinta aja? Klo kalian dah cinta sama pasangan kalian, ya udah, ga usah mikirin yang lain saat diajak nikah, langsung aja bilang iya. Karena, bagi gw, cinta sejati itu adalah cinta yang ga memandang keadaaan. Cinta yang ga diukur dengan “gw bisa idup ato engga kalo sama dia”. Kalo bener-bener cinta, kalian akan mendampingi pasangan kalian baik dalam susah ato pun senang, dalam kaya ato pun miskin. Sebagai lelaki gw pun paham bahwa sudah seharusnya kaum gw menjadi tulang punggung keluarga.Tapi,jangan tanya apa yang bisa gw beri karena semua yang gw punya dah pasti untuk elu. Siapapun “elu” itu nantinya.

Minggu, 1 January 2012, 14:40 WIB

*Baru*

Tahun baru, harapan baru, semangat baru. Untuk Cinta? Ah, meskipun gw pernah bilang cinta sejati hanya bisa ditemukan dikomik atau film Hollywood, tapi gw masih percaya cinta seperti itu masih ada. Dan gw ga akan pernah berhenti berharap supaya gw bisa menemukan (lagi)cinta seperti itu. Lalu, ada satu lagi harapan di tahun 2012 ini yang terlintas dikepala gw saat pergantian tahun semalam: “Semoga dia bisa kembali bahagia”.

Selamat tahun baru 2012!

Kidung Warna

By Rita Anggorowati Gunawan

Putih.
Berbasuh perih
Diam meretih.
Mendesak rindu bak disapih.
Mengalunkan lagu pedih;
Merintih....

Merah.
Melantangkan berjuta amarah
Dalam ragu membuncah
Bak luka berdarah;
Gerah....

Hitam.
Selayak pekat malam
Merapalkan rindu dendam
Mengaduk rasa dalam kelam
Semakin dalam;
Lalu padam.

Kala kidung cinta tak bernada
Kidung warna mengambil cerita
Mengalihkan semua rasa
Tanpa nada tanpa suara
Dalam warna
Tetap bermakna
Selayaknya cita dan asa...
Dalam duka dan lara
Dalam nestapa
Bermuara dalam luka...
Masihkah akan bermakna?

Kidung cinta diam tak berdaya
Memandang lara kidung warna
Tanpa suara tanpa nada
Melesatkan jutaan kecewa

Biarkan saja........

September 18, 2010 at 10:39am

Hakikat Kehilangan

By Rita Anggorowati Gunawan

Memiliki dan kehilangan adalah pasangan sejati. Seperti halnya hidup dan mati. Semua yang berawal dari memiliki akan berakhir dengan kehilangan-- itu pasti... Jika Anda meyakini hal ini, masih perlukah kehilangan itu ditangisi? Bukankah hilang dan mati telah mengajari Anda untuk mensyukuri apa yang Anda miliki?

Ingatlah satu hal, dengan kehilangan, hakikat memiliki akan lebih mudah untuk dipahami. Maknai semua yang kita miliki dan hargai dengan sepenuh hati... Jaga dan syukuri... Panjatkan rasa terima kasih pada Illahi... Apapun itu. Dulu, kini dan nanti...

November 3, 2009 at 7:36pm

LUKA

 Rita Anggorowati

Dimulai dengan untaian kata yang tak sengaja kubaca:
'Karena inilah takdir kita, apapun yg terjadi dengan keadaannya, kamu adalah bagian dalam hidupku yg pernah dan akan selalu ada'.

Dan ketika malam semakin tua. Dingin semakin terasa. Lalu lirih perih itu menyapa. Ah, mengapa bisa? Heran tanya. Edar sekeliling cari makna. Namun jawab tak pernah ada...

Ketika lara itu kembali menyapa. Raba perih usap luka. Tanpa airmata. Tanpa amarah murka. Hanya duka. Menganga. Tanpa dinyana. Mengapa?

Kala maaf terucap begitu saja. Tulus tanpa dipinta. Tapi luka tetap luka. Tak akan pernah lupa. Walau dendam itu tak pernah ada. Perihnya selalu nyata.

Wahai Sang Penguasa Rasa. Basuh luka ini dengan asa. Usap duka ini dengan cinta. Semua ini ada karena Kau yang punya kuasa. Maka kabulkan pinta. Karena Kau Maha Menggenggam Segalanya.

November 20, 2010 at 2:36pm 

Hapily Ever After

@clara_salian 


Seumur hidup saya tidak banyak kali jatuh hati. Tidak penuh kedua tangan saya untuk mewakili laki-laki yg saya pernah suka. Alasannya sederhana: laki-laki begitu-begitu saja dan merepotkan. Sementara saya sangat meyakini bahwa saya hidup di dunia untuk mengurus orang lain. Jadi terbayang penghayatan yang begitu mendalam utk mengurus seseorang yang merepotkan dan biasa-biasa saja. Satu saja sudah bikin sakit kepala apalagi banyak. Belum lagi permintaan laki-laki agar perempuan mencintai mereka sepenuh jiwa, dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan membalasnya dengan seperempat isi kepalanya saja. Dicicil 3 kali. Akhirnya seumur hidup saya benar-benar jatuh cinta pada 2 laki-laki saja, dengan skor: 1 kali membuat patah hati-1 kali dibuat patah hati. Dan saya survived.

Keyakinan saya bahwa hidup cuma sekali dan ini divalidasi oleh kitab suci saya yang setelah dibolak-balik baca terjemahannya juga gak ada kata-kata reinkarnasi. Jadi untuk setiap kesempatan saya melakukannya sampai mentok. Sehingga untuk urusan cinta,  saya mencintai dua laki-laki ini sepenuh hati,  lakukan yang perlu dilakukan hingga selesai atau selesaikan bila tidak ada lagi yang bisa dilakukan.  Hubungan terakhir ini sudah bertahan hampir 14 tahun, dari jatuh cinta, muak, sampai jatuh cinta lagi... Kami masih bersama. Senang, sedih, datar, penuh kejutan dijalani dan ditelan saja bulat-bulat. Dan saya bertahan.

Pelajaran yang saya peroleh: Happily ever after itu ternyata proses bukan tujuan akhir. Ketika saya berpikir sudah ideal dan akan bahagia selamanya, selalu ada hal baru yang harus dilewati, menyadarkan bahwa perjalanan cinta saya masih panjang dan hubungan kami belum apa-apa. Jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta lagi berkali-kali dan tiap kali rasanya tidak pernah sama. Bagaimana bisa bertahan dan bahagia  adalah proses yang saya pelajari dan saya upayakan selama ini. Dan saya bertahan, cinta saya bertahan.

Selamat menikmati perjalanan cintamu.