Orang bilang, patah hati hanya mungkin jika ada cinta. Tentu saja: bagaimana kita mungkin patah hati dengan seseorang kalau kita tidak mencintainya? Patahnya sesuatu selalu mensyaratkan adanya sesuatu yang patah. Tapi jika patah hati dimungkinkan karena cinta, lalu apa yang memungkinkan cinta? Ex nihilo? Tidak, cinta tidak bermula dari tiada. Cinta, ironisnya, bermula dari patah hati. Melalui karyanya Lioni menunjukkan pada kita bahwa cinta justru lahir dari patah hati. Karya-karyanya—lima puluh dua foto yang ia kirimkan tiap minggunya ke lelaki yang berkata tidak padanya—tak lain adalah karya cinta: cinta yang menjadi nyata, yang menjadi material. Cinta yang nyata ini justru dimungkinkan karena penolakan yang mematahkan hatinya. Karenanya, cinta hanya mungkin jika ada patah hati.
Tapi apa artinya patah hati? Apa yang membuat sedih ketika perasaan kita dinegasi oleh orang yang mau kita cintai? Dari mana asal-usul kesedihan? Ini adalah pertanyaan yang muncul ketika kita masih kanak-kanak: mengapa orang bisa sedih? Setiap orang pasti, setidaknya sekali dalam masa kecilnya, pernah menanyakan itu. Sedih adalah soal apa yang terlepas, yang jatuh ke tanah. Sedih, karenanya, mirip dengan hujan. Sedih adalah ketika kita berdiri tegak di sini tetapi perasaan kita jatuh berserakan di lantai. Dan kita melihat perasaan yang terserak itu seperti mengamati semut-semut yang merayap ke liang tanah dan menghilang. Kita sesudahnya merasa begitu ringan, mengapung seperti awan yang tembus pandang. Kesedihan adalah seperti hari yang cerah. Cinta, bagaimanapun, adalah kesedihan.
Hakikat sedih dari setiap cinta inilah yang kita temui dalam sepotong kata sederhana: rindu. Orang bilang, rindu adalah milik mereka yang saling mencintai, rindu adalah rasa dari sepasang orang yang saling merasakan satu sama lain. Tapi apa artinya rindu jika itu berarti proses timbal-balik? Seakan-akan rindu sama seperti proses pertukaran komoditas bernama perasaan. Rindu, sebagaimana cinta, selalu bersifat sepihak. Rindu tidak mensyaratkan konsensus di antara berbagai pihak.
Rindu adalah seperti perasaan Orfeus dalam legenda Yunani itu. Ketika Euridis, kekasihnya, mati dipatuk ular, kesedihan Orfeus membuat langit menangis dan memberikan kesempatan baginya untuk menjemput kekasihnya di dunia orang mati. Syarat dewa hanya satu: Orfeus mesti berjalan melintasi dunia orang mati sembari diikuti oleh Euridis tanpa boleh sekalipun menengok ke belakang, ke arah Euridis. Apa yang diperbuat Orfeus adalah rasa rindu itu sendiri. Di tengah perjalanannya ia menengok ke belakang untuk menatap wajah Euridis dan pada saat itu juga sang kekasih terurai ke udara kosong. Pada titik di mana ia berbalik dan menatap wajah Euridis itulah Orfeus tahu apa itu rindu. Dengan menatap Euridis, Orfeus membebaskan cinta dari beban kepemilikannya, memberikan pada cinta apa yang memang milik cinta itu sendiri, membebaskan cinta dari dirinya sendiri. Itulah rasa rindu. Itulah cinta dalam rupanya yang paling murni—cinta yang sepihak, rindu yang membuta. Atau, seperti kata penyair kuno Angelus Silesius: The rose is without why; she blooms because she blooms.
Martin Suryajaya
Mahasiswa S2 STF Driyarkara