Rabu, 07 Desember 2011

Surga Yang Berbeda

N

Tidak masalah dan tidak ada yang salah dengan visual 2 dimensi itu di layar komputer. Tapi tanpa rencana dan sepengetahuan saya, semuanya salah. Ingin rasanya kutusuk senyum itu dan kuremukkan badan yang terpampang sombong didalamnya. Tidak. Tutup saja lah laptop ini.

Andai saja menutup luka ini semudah menutup laptop, pasti aku akan baik-baik saja. Tapi tanpa daya, sekuat apapun kubasuh luka menganga yang menuturkan nanah perih setiap saatnya ini hanya semakin memberikan teror laten di setiap hari.

“Mar, belajar berbesar hati itu susah sekali ya?” ujarku lewat Blackberry Messenger kepada seorang teman dekat. Mataku hanya terpaku menunggu symbol jam pasir merah itu berubah ke huruf “D”, menarik napas, meliriknya lagi sampai berubah menjadi “R”. Tidak lama, balasan muncul diiringi penanda suara Chi Gong yang kupilih dua tahun lalu.

“Iya, Din. Susah banget. Sabar ya,” tanggapnya dengan sabar. Aku percaya padanya. Dia tahu rasanya. Dia tahu rasaku.

Berbesar hati menerima bahwa surga kami berbeda.

Cinta memang tak berbatas, tapi secara duniawi, cinta itu punya banyak batasan. Suku, umur, agama, latar belakang keluarga, sosial ekonomi, ras, dan lain-lain yang kesemuanya digarap oleh manusia sendiri. Tuhan memang satu, tapi dia menciptakan banyak orang berbeda. Untuk apa? Apakah untuk diperlakukan berbeda seperti yang dikatakn Adolf Hitler? Lalu dijadikan alasan untuk saling memusnahkan?

Tidak.

Tuhan itu adil dan dia ingin keadilan di dunia. Manusia diciptakan berbeda untuk memahami betapa sebenarnya mereka semua sama. Tidak lucu Tuhan menciptakan manusia sama persis semuanya, luar dan dalam. Dimana letak seninya? Dimana letak tantangannya?

Terlalu melantur.

Intinya, surga kami berbeda. Karena agama kami tidak sama. Dia pengikut Muhammad SWA dan saya pengikut Yesus Kristus. Dan menurutnya, kami tidak bisa bersama.

Omong kosong.

Eyang kakung saya pemeluk Hindu, eyang putri saya pemeluk Islam. Ayah saya Islam, ibu saya Kristen. Tante dan Oom saya bervariasi dari Islam, Kristen dan Katolik. Mulai dari suku Jawa, Menado, Sunda, Irian, Cina, Palembang, Banjar, dan lain-lain bertebaran dalam keluarga saya.

Keluarga saya baik-baik saja dan penuh toleransi. Kami bahagia diatas semua batas cinta yang terpampang.

Cinta yang dia umbar dan kumandangkan padaku. Hanya bersisa ampas, abu, debu tak berbekas. Tak terlihat wujud asalnya. Habis. Oleh kebohongan dan kebutaan yang ia tancapkan. Bukan seribu jarum yang menghujam ulu hatiku, namun pasak raksasa yang mendesak perlahan melukai hati. Hati yang aku pakai untuk mencintainya, memberinya kasih sayang dan tempat bernaung. Namun apa salahku? Aku tak menyisakan cukup ruang untuk berteduh bagi diriku sendiri. Dan aku terperosok ke dalam diriku sendiri yang penuh tanda Tanya.

Aku tidak meminta dilahirkan Kristen.

Dan dia tahu kami dilahirkan dan dibesarkan berbeda (agama). Namun ia melaju dan menginjak pedal gas itu dengan sepenuh jiwa (menurut yang dikatakannya padaku). Aku terpacu. Dan saat ia menginjak rem mendadak aku tak bisa mengelak.

Apa yang aku tahu selama ini? Nol.

Apakah aku dibohongi? Mungkin.

Apakah aku dipermainkan? Bisa jadi.

Apakah aku dicintai? Tidak tahu.

Apakah aku percuma? Ya. Aku percuma. Karena aku tidak cukup berharga untuk diajak bekerja sama. Aku percuma karena aku tidak cukup ini itu. Dan aku percuma berontak dan berteriak. Karena aku percuma.

Percuma katanya mengenai masa depan kami. Karena surga kami berbeda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar